Mengapa Keistimewaan DIY Harus Dipertahankan ?

Mengapa Keistimewaan DIY Harus Dipertahankan ?
DIY berasal dari 2 kerajaan yang berkuasa dijaman sebelum RI lahir yakni Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Eksistentsi 2 kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari internasional, baik pada penjajahan Belanda, Inggris maupun Jepang.
Mau tau hal-hal kenapa keistimewaan DIY harus dipertahankan..? Berikut adalah penjelasannya...
-----------------------------------------------------------------------





Sebagaimana Surat Presiden Republik Indonesia Nomor R-99/Pres/12/2010 tanggal 16 Desember 2010 perihal Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang telah disampaikan kepada DPR RI beberapa waktu yang lalu, dan ditindaklanjuti dengan penyampaian keterangan pemerintah atas RUU Keistimewaan Provinsi DIY yang telah disampaikan pada Rapat Kerja dengan Komisi II DPR-RI pada tanggal 26 Januari 2011, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan respon baik dari aspek tinjauan secara umum maupun khusus atas materi dimaksud.
  1. Tinjauan Secara Umum

    Salah satu aspek penting yang harus dijawab dalam menyusun sebuah Undang-Undang adalah apa argumentasi, rasionalitas atau relevansi perlunya disusun sebuah Undang-Undang. Dalam konteks Daerah Istimewa Yogyakarta, paling tidak terdapat beberapa alasan yang dapat saya sampaikan sebagai berikut :

    • Alasan Historis

      DIY berasal dari dua kerajaan yang berkuasa dijaman sebelum Republik Indonesia lahir yakni Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Eksistensi kedua kerajaan tersebut telah mendapat pengakuan dari dunia internasional, baik pada masa penjajahan Belanda, Inggris maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri, lengkap dengan sistem pemerintahannya (susunan asli), wilayah dan penduduknya.

      Selanjutnya ketika mendengar berita Proklamasi Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian mengirim surat kawat kepada Presiden Soekarno yang berisi ucapan selamat dan sikap politik untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Selanjutnya sikap politik tersebut dibalas dengan perlakuan istimewa dari Presiden Soekarno berupa pemberian Piagam Penetapan tertanggal 19 Agustus 1945, yang intinya Presiden Soekarno menetapkan Sri Sultan dan Sri Paku Alam tetap pada kedudukannya dengan kepercayaan akan mencurahkan segala pikiran, tenaga, jiwa dan raga untuk keselamatan Daerah Yogyakarta sebagai bagian Republik Indonesia.

      Pada tanggal 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan amanat yang kemudian dikenal sebagai amanat 5 September 1945 yang isinya :
      • Pertama : bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia.
      • Kedua : bahwa kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta mulai saat ini berada di tangan kami,
      • Ketiga : bahwa hubungan antara Negeri Ngayogyakarta dengan pemerintah pusat bersifat langsung dan kami bertanggungjawab atas negeri kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
      Hal yang sama pada saat yang bersamaan juga dibuat oleh Sri Paku Alam VIII.

      Dalam perkembangannya wilayah Negari Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjelma menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang selanjutnya diatur di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Peristiwa sejarah tersebut yang melandasi pengakuan hukum atas DIY, dan fakta berikutnya dengan berbagai pertimbangan Yogyakarta ditetapkan menjadi ibu kota Republik Indonesia dari tahun 1946-1949.

    • Alasan Filosofis

      Pada waktu sebelum kelahiran Republik Indonesia, ada sebanyak 250 (dua ratus lima puluh) rechtsgemeenschappen (masyarakat hukum adat) yang masing-masing memiliki otonomi yang sangat luas, termasuk Negeri Ngayogyakarta dan Pakualaman. Kedua daerah ini dalam bahasa Belanda disebut vorstenlanden atau Kerajaan. Masyarakat hukum adat semacam ini diikat secara politis oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan korte verklaring (kontrak jangka pendek) dan lange contracten (kontrak jangka panjang).

      Pada waktu itu Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman telah mempunyai dasar hukum atau koninklijk besluit dari Ratu Wilhelmina sebagai daerah yang berdaulat, sehingga secara hukum internasional kedudukannya sama dengan sebuah negara, sehingga pada waktu RIS, Belanda tidak dapat masuk ke Yogyakarta, dan oleh karenanya Yogyakarta dijadikan Ibukota Negara Republik Indonesia, karena secara hukum internasional kedaulatan Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman memang dihormati. Pengakuan (recognition) dan penghormatan (respectation) tidak saja menjadi keniscayaan sejarah dan konstitusi, melainkan merupakan fakta politis dan empiris yang tidak mudah dihapuskan oleh kondisi zaman yang berubah.

      Sebagai negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia pada waktu itu sangat membutuhkan pengakuan dari negara lain sehingga keputusan bergabungnya Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman memiliki arti sangat penting bagi Indonesia karena telah memberikan wilayah dan penduduknya secara kongkrit bagi Indonesia.

      Analogi penggabungan kedua negara tersebut yang kemudian sering dikenal dengan istilah Ijab kabul, dimana ada pihak yang menyerahkan dan ada pihak yang menerima selanjutnya diberikan mahar atau mas kawin sebagai daerah setingkat provinsi yang bersifat istimewa. Dalam hal ini Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mewakili Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman, dipihak lain Soekarno mewakili Republik Indonesia, sehingga tidak bisa begitu saja menafikkan daya ijab qabul yang telah disepakati bersama tersebut.

      Dalam perspektif hukum internasional perjanjian kedua negara tersebut biasa dikenal sebagai bilateral treaties. Asas hukum pacta sunt servanda menyatakan bahwa setiap perjanjian mengikat dan wajib dipatuhi serta dihormati oleh kedua belah pihak selama keduanya belum membatalkan kesepakatan dimaksud.

      Setelah bergabung dengan Republik Indonesia praktis penyelenggaraan pemerintahannya mengikuti sistem yyang dianut oleh Republik Indonesia kecuali dalam hal mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak terikat syarat, cara pengangkatan dan masa jabatan sebagaimana daerah lainnya. Kepemimpinan di DIY bersifat ascribed status (turun-temurun), inilah yang menjadi ruh keistimewaan DIY, oleh karenanya penyelenggaraan pemerintahan di DIY tidak dapat disebut monarchy, karena Raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kekuasaan yang sangat terbatas sebagaimana diatur di dalam UU No 32 tahun 2004, disamping itu keluarga Raja tidak mempunyai hak-hak khusus atau istimewa di dalam pemerintahan.

    • Alasan Yuridis

      Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY yang telah berjalan selama ini konstitusional, hal ini sejalan dengan bunyi pasal 18B UUD 1945. Pasal ini dimaksudkan untuk mengakomodasi daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa, seperti Aceh, DKI Jakarta, DIY dan Papua (lexspecialist). Sementara pasal 18 ayat (4), dimaksudkan untuk mengatur daerah-daerah lainnya (lex-generalist).

      Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang demikian berdasarkan teori hukum merupakan hak konstitusional bersyarat (fundamental rights of constitusional condition), artinya sepanjang tidak menyalahi konstitusi dan sepanjang masih berlaku dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakatnya maka proses yang demikian konstitusional.

      Sebagai sumber hukum tertinggi, Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga Pasal 18B Undang-Undang Dasar hasil amandemen, menghormati hak-hak asal-usul daerah yang bersifat istimewa. Pada konteks kekinian jaminan keistimewaan dalam Undang-Undang Dasar tersebut diberikan bukan sebagai bentuk hutang budi politik atau kompensasi atas penggabungan diri Negeri Ngayogyakarta dan Pakualaman kepada Negara Republik Indonesia, melainkan murni pengakuan dan penghormatan yang obyektif.

      Ayat (1) dan ayat (2) pasal 18B UUD 1945 mengandung norma-norma imperatif yaitu norma perintah sebagai kewajiban bagi negara untuk melindunginya. Atas dasar hal tersebut, maka makna keistimewaan sebagaimana dimaksud menunjukkan konsekuensi bahwa keistimewaan merupakan hak konstitusional bagi pemerintahan daerah yang penyelenggaraannya “dikecualikan”. Sejalan dengan hal tersebut, selanjutnya dijadikan rujukan dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dari waktu ke waktu mengalami dinamika dan “pasang surut”.

      Pengaturan pemerintahan daerah diawali dengan UU No. 1 Tahun 1945, dalam UU ini disebutkan bahwa “Komite Nasional Daerah (KND) diadakan kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta“ dalam penjelasan disebutkan bahwa pengecualian ini merupakan implikasi dari Piagam Penetapan yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada tanggal 19 Agustus 1945.

      Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1948 dengan jelas menyebutkan bahwa daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan zelfbesturende landschappen. Daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Republik Indonesia. Dalam UU ini, keistimewaan DIY diberikan dalam hal penentuan kepala daerah dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah istimewa diangkat oleh pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan mengingat adat istiadat di daerah itu. Sedangkan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak berbeda dengan pemerintahan daerah lainnya.

      UU No. 1 Tahun 1957 pada intinya melanjutkan apa yang telah diatur di dalam UU No. 22 Tahun 1948. Isi keistimewaan bahwa kepala daerah diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah Yogyakarta.

      UU No. 18 Tahun 1965 tidak mengatur secara jelas tentang keistimewaan DIY, namun di dalam ketentuan peralihan disebutkan bahwa daerah tingkat I dan DIY berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri berdasarkan UU No. 1 Tahun 1957. Lebih lanjut dalam pasal 88 ayat (2) huruf a dan huruf b disebutkan bahwa sifat istimewa sesuatu daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal usul dalam pasal 18 UUD yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan istimewa atas alasan lain, berlaku hingga dihapuskan.

      UU No. 5 Tahun 1974, dalam UU ini ciri keistimewaan pada kedudukan kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu: Kepala daerah dan wakil kepala daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah kepala daerah dan wakil kepala daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah lainnya.

      UU No. 22 Tahun 1999 mengatur bahwa keistimewaan untuk Provinsi DI Aceh dan Provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1974 adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi DI Aceh dan Provinsi DIY didasarkan pada UU ini.

      UU No. 32 Tahun 2004 pasal 225 menyebutkan bahwa: daerah daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan UU No. 32 tahun 2004 diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam UU lain. Lebih lanjut disebutkan bahwa ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi NAD, Provinsi Papua, dan Provinsi DIY sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UU tersendiri. Sampai dengan saat ini, DIY satu-satunya daerah yang belum diatur secara khusus dalam UU tersendiri sebagaimana amanat konstitusi, pengaturan keistimewaan DIY selama ini hanya “ditempelkan” dalam UU Pemerintahan Daerah.

      Seharusnya DIY juga telah diatur dalam sebuah UU tersendiri sebagaimana halnya tiga daerah lainnya. Secara teoritis pengaturan yang demikian merupakan salah satu bentuk pelaksanaan desentralisasi asimetris, dimana derajat desentralisasi antar unit pemerintahan yang satu dengan yang lainnya dibedakan, dengan maksud untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan stabilitas nasional, dan juga untuk mengakomodasikan daerah-daerah yang memiliki status khusus dan istimewa, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi.

    • Alasan Sosiologis

      Bagi masyarakat DIY, keistimewaan tidak hanya bermakna pemberian hak previlage bagi keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam dalam jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, melainkan dimaksudkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri masyarakat yang dalam sejarah perjalanan negara bangsa ini diberi tempat dan diakui secara konstitusional. Berpijak dari kenyataan itulah, maka ketika banyak yang mempermasalahkan keistimewaan DIY, maka ukuran yang dipergunakan menjadi sangat politis.

      Ada yang beranggapan bahwa yang telah berjalan selama ini dianggap sudah tidak sesuai dengan tantangan jaman dan demokratisasi. Secara filosofis vox populi vox dei, sebagai ruh demokrasi menunjukkan bahwa ukuran demokrasi harus benar-benar berpijak pada kepentingan dan kehendak rakyat. Apabila melihat realita dinamika masyarakat di DIY yang sebagian besar masih menginginkan praktek yang telah berjalan selama ini tetap dipertahankan maka seharusnya keinginan tersebut diakomodasikan. Dalam perspektif ini, demokrasi tidak semata-mata berbicara mengenai kebebasan memilih dan dipilih, tetapi demokrasi harus bisa mengakomodir aspirasi rakyat.

      Pandangan demokrasi di Indonesia telah terwadahi dalam sila keempat Pancasila, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Saat ini ada semacam hegemony of meaning yang mendefinisikan bahwa satu-satunya metode rekruitmen yang demokratis hanya melalui pemilihan secara langsung. Euphoria pemilihan telah meminggirkan kekhasan demokrasi Indonesia yang berbasis pada prinsip kekeluargaan. Wajah demokrasi Indonesia serta-merta bermetamorfosa menjadi westernistik.

      Demokrasi sebenarnya merupakan dimensi humanitas atau kebudayaan, karenanya demokrasi dapat dipandang sebagai salah satu hasil kreativitas manusia yang berkebudayaan dan berkeadaban. Sementara konsepsi demokrasi sendiri dari waktu ke waktu telah mengalami perubahan, seperti : welfare democracy, people’s democracy, social democracy, participatory democracy, dan sebagainya. Puncak perkembangan demokrasi yang paling diidealkan pada akhirnya adalah demokrasi yang berdasar atas hukum atau constitusional democracy. Dalam perspektif ini, demokrasi terwujud secara formal dalam mekanisme kelembagaan dan mekanisme pengambilan keputusan kenegaraan. Sedangkan secara substansial demokrasi memuat nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar yang terwujud dalam perilaku budaya masyarakat setempat.

      Mengacu kepada konsepsi constitusional democracy, maka DIY telah diatur di dalam pasal 18B UUD 1945, dan juga telah diatur di dalam pasal 91 huruf b UU No. 5 Tahun 1974 yang mengamanatkan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah DIY, tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, selanjutnya pasal 122 UU No. 22 Tahun 1999 dan Pasal 226 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan keistimewaan Provinsi DIY sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1974 adalah tetap.

      Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, maka apa yang telah berjalan selama ini dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY dapat dikatakan telah berjalan demokratis. Asumsinya bahwa sebuah UU disusun oleh DPR RI bersama pemerintah yang merupakan merupakan representasi dari kehendak rakyat Indonesia dan kehendak penyelenggara negara, sehingga ketika produk undang-undang yang dihasilkan dijalankan hal inilah bentuk constitusional democracy.

      Seharusnya kita tidak resisten dengan bentuk demokrasi yang telah berjalan di DIY seperti sekarang ini yang lebih mengedepankan asas musyawarah mufakat sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945. Dalam takaran teoritik negaranegara barat bahkan mulai berkiblat pada deliberative democracy sebagaimana beberapa contoh berikut ini : Jon Elster dalam Deliberative Democracy (Cambridge University Press), Christoper F Zurn dalam Deliberative Democracy and The Institutions of Judicial Review (Cambridge University Press), dan Beau Breslin dalam The Communitarian Constitutions (The John Hopkins University Press, Baltimore and London).

      Dari uraian tersebut diatas tidaklah berlebihan bila pengakuan keistimewaan DIY tetap dipertahankan, tidak saja merupakan keniscayaan sejarah dan konstitusi melainkan juga fakta sosiologis yang sampai sekarang masih didukung oleh sebagian besar masyarakat DIY, dan masyarakat secara luas. Hal ini terbukti dari fakta empirik seperti : Keputusan DPRD Kabupaten dan Kota, keputusan DPRD Provinsi DIY dan keputusan DPD RI yang telah memberikan dukungan atas keistimewaan DIY. Representasi dukungan secara lebih luas juga pernah dibuktikan di ruangan ini, ketika RUUK Provinsi DIY dibahas pada periode sebelumnya.

    • Alasan Teoritis

      Dari perspektif filsafat ilmu hukum, seharusnya kita tidak berpikir semata-mata pada teks normatif hukum positif, melainkan harus mampu melihat hukum sebagai realita secara utuh baik dari perspektif transcendental order, social order, maupun political order. Hukum yang baik sudah seharusnya berbasis pada kosmologi, bentuk kehidupan sosial dan kultural (a peculiar form of social life), oleh karenanya keistimewaan DIY harus dipahami secara “utuh” agar mampu memahami simbol-simbol dan makna yang ada di lingkungan masyarakat DIY sebagai satu kesatuan.

      Oleh karenanya menjadi sangat penting untuk mampu melakukan analisis terhadap RUU tersebut karena sesungguhnya terkait dengan persoalan filosofis bahwa peraturan hukum dibentuk tentunya berdasarkan konteks yang melatar belakanginya. Tidak saja landasan filosofis, sosiologis, historis dan yuridis konstitusional, tetapi kontribusi signifikan dalam bentuk keinginan nyata masyarakat. Tidak ada keraguan bahwa persoalan mendesak yang dibutuhkan masyarakat DIY saat ini adalah instrumen hukum yang legitimate untuk mengakui (recognition principle) dan menghormati (respectation) Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

      Kami sangat menghargai apa yang telah disampaikan pemerintah atas RUU Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang lalu, karena akan menjadi dokumen hukum penting dalam proses pembentukan sebuah Undang-Undang. Materi tersebut menunjukkan kehendak atau cita politik hukum (rechts idee) dari pemerintah selaku inisiator RUU.

      Memediasikan perbedaan pandangan antara kehendak atau cita politik hukum pemerintah dengan masyarakat DIY sejatinya dapat ditengarai dari perspektif sosiologi perundang-undangan. Dalam perspektif ini ada dua kekuatan dimana pemerintah dengan masyarakat DIY secara diametral berseberangan. Apabila pemerintah yang didukung oleh partai politik bersikukuh untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginannya, pertanyaan yang muncul kemudian akankah UU tersebut mampu memenuhi tujuan utamanya (intended consequence) ? Karena secara teoritik suatu peraturan hukum dipandang efektif manakala kebijakan tersebut memenuhi tujuan utamanya (intended consequence) dari pembentukan undang-undang (law making) dan tujuan-tujuan diluar tujuan utama (unintended consequence), yakni dinyatakan efektif bilamana targetnya memenuhi kecenderungan sosial terkait dengan kepentingan publik, kesadaran hukum dan memenuhi kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan prosedur dan mekanisme perundang-undangan.

      Sekiranya dokumen-dokumen politik yang ada sudah dianggap out of content (tidak dapat dipercaya lagi), maka ketiadaan dokumen hukum tertulis tersebut tidak dapat menafikkan adanya kebiasaan praktek kenegaraan diluar hukum tertulis, karena kebiasaan (konvensi) dapat menjadi hukum kebiasaan (customery rules) apabila memenuhi dua unsur, yaitu unsur faktual dan unsur psikologis.

      Kamipun sangat menyadari kalau dalam penyelenggaraan pemerintahan telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dari waktu ke waktu, oleh karenanya tidak mungkin lagi sepenuhnya mengadopsi seluruh praktek penyelenggaraan pemerintahan seperti dijaman kerajaan waktu itu, tuntutan akuntabilitas menjadi suatu keharusan, namun demikian tidak harus mengorban nilai-nilai yang baik yang telah berjalan selama ini dan masih dibutuhkan oleh masyarakat. Mensitir pendapat Sri Sultan HB IX dalam Buku Tahta Untuk Rakyat, ketika ada pertanyaan Bagaimana Keberlanjutan DIY kedepan ? jawabnya : itu terserah pemerintah pusat dan rakyat.

  2. Tinjauan Secara Khusus

    1. Judul RUU tentang Keistimewaan Provinsi DIY, menurut hemat kami judul tersebut tidak tepat apabila kita merunut berbagai pertimbangan yang telah kami uraikan dimuka, disamping tidak merujuk original intent bunyi pasal 18B ayat (1) juga tidak sesuai dengan UU No 3 tahun 1950 tentang Pembentukan DIY yang secara eksplisit menyebutkan “setingkat provinsi” yang dapat diartikan tidak sama dengan provinsi, sekaligus sebagai pembeda dengan daerah lainnya yang diberlakukan ketentuan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Sehingga akan lebih tepat kalau judulnya : RUU tentang Daerah Istimewa Yogyakarta atau Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (tidak menggunakan kata provinsi).

    2. Dalam konsideran menimbang tidak dicantumkan dasar filsafat Pancasila, yang semestinya menjiwai seluruh produk perundang-undangan. Disadari atau tidak suatu undang-undang tanpa menyebutkan dasar filosofis Pancasila akan menjadi ancaman serius yang mengarah kepada liberalisasi. Untuk RUU DIY ruh keistimewaan berada pada sila keempat “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”

    3. Penggunaan nomenklatur Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (8) dan Pasal 8 ayat (2), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena berdasarkan Pasal 18 ayat (4) kepala Pemerintahan Daerah Provinsi adalah Gubernur. Keberadaan Gubernur Utama akan menciptakan dualisme pemerintahan yang secara mutatis mutandis melanggar prinsip negara hukum cq kepastian hukum (Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 28D ayat (1) UUD 1945). Kalau yang dimaksud Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sekedar peristilahan atau sebagai pengganti “parardhya”, maka secara filosofis bertentangan dengan ruh keistimewaan DIY, karena Raja yang berkuasa pada waktu itu ketika berintegrasi kedalam Republik Indonesia selanjutnya menjelma menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur dan Wakil Gubernur, kalau kemudian ada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama maka sama saja kekuasaannya semakin dipersempit.

    4. Masih dalam hal penggunaan nomenklatur Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama yang menurut kami mengandung resiko hukum yang sangat besar bagi eksistensi keistimewaan DIY, manakala ada pihak-pihak yang melakukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dan dinyatakan menang (dikabulkan) maka pada saat bersamaan keistimewaan DIY hilang.

    5. Pasal 1 angka 14 perihal Peraturan Daerah Istimewa Provinsi DIY (Perdais) sebagai sesuai yang bukan menjadi ciri asli keistimewaan DIY, melainkan lebih meniru model Konun di Nagroe Aceh Darussalam dan MRP di Papua, disamping untuk kepentingan mewadahi peran dan fungsi Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. Menurut hemat kami akan lebih tepat diatur dengan Peraturan Daerah (biasa) sebagaimana yang telah berjalan selama ini, karena Raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur.

    6. Pada Bab II Batas dan Pembagian Wilayah, pasal 2 ayat (1) huruf b disebutkan bahwa “sebelah timur dengan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah” padahal secara riil berbatasan juga dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri.

    7. Pertanahan dan Penataan Ruang, Pasal 26 ayat (1) disebutkan “..... Kasultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum. Bunyi pasal ini tidak sinkron dengan bunyi penjelasannya yang menyebutkan sebagai Badan Hukum Kebudayaan (masih mengacu konsep lama/parardhya). Kami ada kekawatiran jangan-jangan Naskah akademiknya sama dengan yang sebelumnya ? yang berubah hanya Rancangan Undang-Undangnya, kalau benar demikian maka keutuhan latar belakang sebagaimana dimaksudkan didalam Naskah Akademik dengan keinginan pengaturannya (RUU) menjadi tidak sinkron.

    8. Masih dibidang pertanahan, Kalau Kasultanan dan Kadipaten ditetapkan sebagai Badan Hukum, pertanyaan sebagai badan hukum privat atau publik ? lalu bagaimana dengan tanah-tanah yang selama ini sudah dikelola oleh masyarakat dan dilepaskan kepada pihak lain, apakah kemudian harus dibatalkan ? sehingga menurut kami akan lebih tepat kalau Kasultanan dan Kadipaten ditegaskan sebagai subyek hak atas tanah.

    9. Penggunaan terminologi “pembagian kekuasaan” pada Pasal 5 ayat (2) huruf c tidak tepat karena pada prinsipnya pemerintahan daerah sudah berada pada cabang kekuasaan eksekutif (executive power) dan kekuasaan eksekutif ini tentunya tidak dapat dibagi lagi. Sehingga akan lebih tepat “pembagian kewenangan” (authority sharing) antara DPRD, Gubernur dan Wakil Gubernur.

Mengutip pendekatan ushul fiqih yakni ilmu hukum dalam Islam yang mengkaji kaidah-kaidah dan teori-teori untuk menghasilkan produk hukum atau perundang-undangan, dalam praktek ketatanegaraan apa yang terjadi di DIY disebut sebagai ahkamul ‘urfi, yakni kebiasaan yang telah dinyatakan sebagai hukum tetap dan menjadi landasan peraturan tata perilaku, baik yang bersifat sosial maupun politik di suatu wilayah. Selama tidak menimbulkan bahaya dan mengancam kehidupan umat, ahkamul ‘urfi memiliki legalitas syar’i. Syariat Islam sendiri berprinsip tasbarruful imami manutbun bimashalihil ummah yaitu kebijakan penguasa harus berpijak kepada kemaslahatan umat. Pembuat UU wajib memperhatikan dan mengikuti kehendak umat yang telah merasa nyaman dengan kebiasaan baik yang berlaku dalam tatanan sosial-politik di daerahnya. Apabila berkeinginan mengubah tradisi yang telah mapan, maka harus mampu menjelaskan bahwa yang berlaku selama ini membahayakan bagi keselamatan NKRI dan kelestarian DIY, apabila tidak bisa membuktikannya, maka telah melanggar prinsip tasbarruful imami manutbun bimashalihil ummah.
sumber : pemda-diy.go.id



*.:。✿ Don't forget to come back again ✿.。.:*




Visit Wahyudi Blog !

1 komentar:

Plisss...
Jangan nyepam (spam), jangan promosi (apapun itu), jangan SARA, jangan OOT...

Mohon kerja samanya, berikan komentar yang berbobot dan bermanfaat bagi semua... ^^

Artikel Unggulan

Panduan Makan Sehat bagi Generasi Z: Tips Mudah untuk Menjaga Energi dan Kesehatan

Menjaga Kesehatan dan Energi saat Berlatih: Nutrisi Penting untuk Atlet Generasi Z Gaya hidup aktif dan olahraga merupakan hal yang sangat p...

Paling Populer dalam Sebulan