Perbedaan OOP dan Prosedural - Apakah Betul Ini Ada?



Banyak yang bertanya apakah perbedaan antara Prosedural dan OOP. Pertanyaan ini SALAH BESAR. Prosedural dan OOP bukan perbedaan. Tetapi:

OOP melengkapi teknik Prosedural, BUKAN BERBEDA.


1.1. Salah Kaprah yang Berbahaya

OOP melengkapi Prosedural. Dan Prosedural melengkapi teknik… yang well karena belum ada namanya, jadi kita sebut saja Flow Programming (FP). Salah satu ciri dari FP adalah code banyak dipenuhi dengan “Goto”. Perbedaan cara pandang antara yang memandang “OOP adalah sebuah teknik pemrograman yang berbeda dengan Prosedural” dan cara pandang bahwa “OOP melengkapi Prosedural” sangat vital, dan ini salah satu reason yang menghasilkan banyak code yang tidak berkualitas – hanya karena sekedar mau OOP “murni”.

Mengapa berpikir “melengkapi” dan berpikir “berbeda” bisa menimbulkan salah kaprah yang dahsyat?
  • Dengan anggapan berbeda, maka orang menganggap Prosedural lebih baik daripada FP. Jadilah “Goto” menjadi kambing hitam, dan semua orang beramai-ramai menghindari “Goto”. Padalah “Goto” sangat baik untuk error-handling (tentu sebelum ada syntax Try-Catch-Finally). Dan saya yakin masih ada kegunaan “Goto”, kita hanya perlu open-mind.   
         
  • Dengan anggapan berbeda, maka orang menganggap cara berpikir OOP lebih baik dari Prosedural. Jadilah anggapan bahwa semua harus dibuat “Class”, “di-Inherit”, dan-lain-lain, sehingga code dipenuhi dengan class dan inheritance-nya yang sangat menggelikan. Menggelikan karena sudah pakai class dan inheritance yang sebanyak-banyaknya (di setiap jengkal code yang mungkin), tetapi code-nya tetap saja penuh bug dan susah dimengerti. Lukisannya tetap saja tidak indah dipandang.
1.2. Aplikasi Komputer

Sebelum kita lanjut diskusi dengan seru mengenai objet-oriented, tentu kita harus menyamakan dulu tujuan kita semua. Kalau kita tidak agree dengan tujuan akhirnya, diskusi ini bakal jadi debat kusir tanpa ujung.

1.2.1. Yang Pertama Jelas : User Membutuhkan Aplikasi Komputer

Yang pertama, apapun makanannya, tujuan akhirnya sudah jelas adalah membuat aplikasi yang berguna untuk user. Aplikasi yang berguna adalah aplikasi yang:
  • Biayanya bisa terjangkau oleh user.       
  • Bug-nya tidak terlalu banyak, masih bisa diterima-lah (tidak ada aplikasi yg bug-free).        
  • Berjalan sesuai dengan fungsi yang diinginkan oleh user.         
  • Dan sangat banyak lagi.
Daftar ini bisa panjang sekali. Tetapi sudah pasti tidak ada satu-pun requirement dari user yang mengatakan saya mau program yang didesain secara object-oriented, mau programnya ditulis pake C# (atau VB.net), harus mengandung class dan inherintance, dan lain-lain yang seperti itu. Hanya orang teknikal (atau programmer alias kita) yang concern dengan itu. USER TIDAK PEDULI, buat mereka adalah aplikasi jalan, harganya masuk, dan dideliver tepat waktu.

1.2.2. Apakah itu Aplikasi Komputer

Ok, berarti ada kebutuhan aplikasi komputer. Aplikasi komputer itu apa? Yaitu merupakan rentetan instruksi yang harus dieksekusi oleh mesin. Dalam arti yang paling sederhana, setiap code kita akan dieksekusi oleh mesin step-by-step, persis seperti kalau kita membuat program di Bahasa BASIC yang ada line number-nya. Betul-betul seperti itu. Bagi yang mempelajari Bahasa Assembly, tentu mengerti bahwa processor itu pada dasarnya adalah INTERPRETER. Mereka baca instruksi dari code kita, mengeksekusinya, setelah itu loncat ke code mana (goto), evaluasi if-goto-else-goto-else2-goto2-dst.

Ini adalah arsitektur komputer yang sudah didesain kurang-lebih 100 tahun yang lalu oleh jenius matematika Von Newman. Apapun juga bahasa-mu, bagaimanapun desainnya, bagaimanapun trick-nya, ujung-ujungnya akan selalu menjadi instruksi yang harus dieksekusi oleh processor. Di hasil akhir sudah tidak ada lagi itu istilah bahasa OO, OOP, prosedural, dan lain sebagainya.

1.3. Selanjutnya : Ya Membuat Aplikasi Komputer Itu

Bahwa apapun juga caranya, tujuannya adalah bagaimana kita menghasilkan urutan-urutan instruksi komputer. Perkara mau pakai OOP atau prosedural, itu teknik, bukan tujuan akhir. Itu adalah sebuah teknik, yang disempurnakan dengan teknik berikutnya, dan seterusnya, dengan tujuan kita dapat menghasilkan instruksi untuk komputer, dengan usaha yang efisien dan dengan tingkat kesulitan yang masih dalam batas-batas manusia normal.

Klo di-sumarize:
  • User butuh aplikasi komputer.
  • Aplikasi komputer = urutan instruksi.
  • Oleh karena itu kita membuat urutan instruksi (definitely bukan buat aplikasi komputer yang OOP).
Jadi seharusnya tujuan akhir desain dan bahasa komputer adalah membantu kita membuat urutan-urutan instruksi untuk komputer. Jelas desain dan bahasa bukan tujuan akhir, ini hanya cara. Cara ini yang berkembang sampai dengan sekarang menjadi OOP dan bahasa OO.

So mari kita mulai runut, bagaimana ceritanya sampai jadi aplikasi komputer. Dari sini diharapkan jelas, bahwa tidak ada teknik yang completely menggantikan teknik sebelumnya, tetapi merupakan kelanjutan, dengan tujuan “kita membuat aplikasi komputer, dengan cara yang semakin efisien dan efisien”.

1.3.1. Langkah Awal Membuat Aplikasi Komputer

Mari kita berimajinasi sedikit. Coba dibayangkan pada saat sebuah processor baru selesai dibuat. Bagaimana memberikan perintah ke processor. Tentu pertama kita menuliskan perintah ini. Untuk yang belum mengenal Bahasa Assembly, jangan bayangkan kita menulis print(“Hello World”), jauh banget. Kita menuliskan dalam kode-kode angka-angka, YAIK, angka-angka. Angka-angka ini tentu yang mempunyai arti bagi si processor. Misalnya kita mau menjumlah angka 5 + 8. Instruksinya kira seperti ini (sedikit background : register adalah memori internal dari processor):
  • 0105 (yang artinya taroh angka dua di register X).
  • 0208 (yang artinya taroh angka dua di register Y).
  • 03 (yang artinya jumlahkan angka di register X dan register Y, hasilya taroh di register Z).
Nah angka-angka ini kita taroh di sebuah media, bisa RAM, klo jaman dulu di punch-card, pokoknya apapun itu yang bisa disambung ke processor, sehingga processor bisa membacanya. Instruksi-instruksi tersebut biasanya digabung kira-kira menjadi seperti “0105020803”, kita upload ke RAM / atau punch-card, sambung ke processor, trus jalankan processor tersebut (dengan memasang baterai / listrik, kemudian switch-on gitulah kira2).

Inilah teknik programming yang pertama. Perhatikan : kita membuat urutan instruksi.

1.3.2. Lahirnya Bahasa Assembly

Contoh di atas hanyalah ilustrasi singkat saja untuk menunjukkan betapa repotnya memberikan instruksi dalam bahasa mesin “murni”. Bayangkan betapa rumitnya perintah yang harus diberikan kalau kita mau memerintahkan ini sampai dengan tampil di layar. Apalagi klo mau tampil di GUI Windows / Mac / Linux. Bisa kebayangkan ini akan menjadi sebuah pekerjaan yang hampir impossible buat manusia normal (programmer juga manusia ya).

Memberikan perintah semacam “0105020803”, tentu bikin sakit kepala. Oleh karena itu diciptakanlah Bahasa Assembly. Mungkin ada yg berpikir : kenapa Bahasa Assembly, kenapa gak langsung aja ke salah satu bahasa tingkat tinggi? Bisa saja, tapi kebayang gak pusingnya bikin compiler, misalnya untuk yang bahasa yang relatif mudah dicompile seperti Bahasa BASIC deh, kalo kita mesti ngomong dengan bahasa dedemit seperti “0105020803………….”.

Ok klo kita mesti step by step, make sense dong. Kan kita buat Rain-man (orang yang klo ada kotak korek api penuh, terus korek apinya dijatuhkan semua ke tanah, sebelum semua korek api tersebut sampai ke tanah, dia sudah bisa hitung berapa jumlah korek api tersebut).

So jika kita punya Bahasa Assembly… maka programming kita bentuknya menjadi lebih human karena urutan instruksi bukan berupa angka-angka di atas, melainkan berubah menjadi tulisan yang bisa kita baca dengan lebih mudah seperti berikut:
  • MoveX, 5
  • MoveY, 8
  • SumXY
Ini lebih gampang, dan terutama bikin compiler-nya juga gampang. Semuanya hampir one-to-one dengan kode angkanya. Gak perlu ilmu parser yang rumit. Jauh lebih gampang. Karena compiler Assembly ini code utama-nya paling banter isinya kira-kira begini:
  • Baca text.
  • Jika text = “MoveX” then
    • Output “01”
    • Baca text
    • Output text tsb (yaitu 05)
    • Goto nomor 1
  • Jika text = “MoveY” then
    • Output “02”
    • Baca text.
    • Output text tsb (yaitu 08)
    • Goto nomor 1
  • Jika text = “SumXY” then
    • Output “03”
    • Goto nomor 1
  • Dan-seterusnya-seterusnya.
Compiler yang logikanya begini, tentu masih mungkin ditulis dengan kode-kode angka tadi. Bandingkan jika harus langsung membuat compiler Bahasa BASIC.

INILAH TEKNIK PROGRAMMING KEDUA. TUJUAN TETAP : MEMUDAHKAN KITA MEMBUAT URUTAN INSTRUKSI.

1.3.3. Lahirnya Bahasa Tingkat Tinggi

Nah untuk orang, klo mo memberikan perintah 5 + 8, walaupun sudah menggunakan Bahasa Assembly, harus beberapa instruksi, dan ditambah untuk mengerti itu mau apa masih perlu olah mental lagi, tentu bikin repot. Belum lagi komputer yang nyaman tentu perlu harddisk, keyboard, monitor, dll. Si processor bahkan tidak mengenal itu semua. Yang dikenal hanya IO-bus. Processor hanya membaca instruksi, mengkalkulasi, dan kemudian mengirimkan sinyal-sinyal listrik kode melalu IO-bus. Sinyal-sinyal ini yg diterima oleh monitor, keyboard, dan peripheral lain, kemudian ditampilkan di monitor, disimpan ke harddisk, atau dikirim ke network card.

Kebayang berapa panjang code-nya untuk melakukan itu semua.

Kita mau yang lebih simple.

So mengapa tidak kita ciptakan saja sebuah bahasa baru. Yang kalo mau menjumlahkan 5 + 8, cukup tulis “5 + 8”, kemudian hasilnya langsung tampil di layar. Inilah yang disebut sebagai bahasa tingkat tinggi, karena kita menulis code dalam simbol-simbol yang bisa kita baca dengan lebih mudah.

Jadi kita perlu interpreter / compiler bahasa tingkat tinggi yang kalo diberikan input “5+8”, bisa langsung mengubah itu menjadi : “0105020803…” dan hasilnya langsung tampil di layar. Ini lebih simple / lebih human. Dan akan saving waktu programming sangat jauh.

Setelah punya Bahasa Assembly, tentu pekerjaan membuat interpreter / compiler bahasa tingkat tinggi ini lebih mungkin (dibandingkan klo harus menulisnya dalam bentuk kode-kode angka). Karena energi yang tadinya kita pakai untuk mendisplay, atau sekedar menjumlah, karena hal-hal itu sulit, bisa kita gunakan untuk berkonsentrasi di algoritma dari parser.

NOTE beberapa tentu sudah kepikir… sebelum kita membuat compiler bahasa apapun itu, bisa jadi kita buat dulu Bahasa Assembly versi 2 yang lebih sophisticated (misalnya menambahkan fitur untuk menulis komentar program), menggunakan Bahasa Assembly versi 1 (yang kita buat dengan kode-kode angka), kemudian membuat Bahasa Assembly versi 3 menggunakan Bahasa Assembly versi 2, dan seterusnya, sampai dengan kita mempunyai sebuah versi Bahasa Assembly yang cukup sophisticated untuk membuat bahasa tingkat tinggi pertama kita.

Apapun bahasa itu, mestinya bahasa semacam Bahasa BASIC yang syntaxnya sangat sederhana – yang bahkan tidak mempunyai prosedur, hanya “Goto” yang gampang diparser, sehingga parsernya juga lebih sederhana – sehingga mungkin dibuat oleh manusia menggunakan Bahasa Assembly.

Saya tidak akan menjelaskan detil itu, karena sesimple-simple-nya bahasa tingkat tinggi sudah memerlukan ilmu parser yang mulai rumit dan di luar pokok bahasan artikel ini. Yg penting poinnya sama dengan tadi. Kira-kira misalnya setelah dibuat bahasa tingkat tinggi sederhana, kita buat bahasa tingkat tingkat tinggi versi 2 menggunakan versi 1, buat versi 3 menggunakan versi 2, dan seterusnya, dan sampailah ke Bahasa BASIC yang cukup sophisticated untuk membuat sesuatu yang lebih sophisticated.

Anw, inilah lahirnya teknik programming ketiga : programming menggunakan bahasa tingkat tinggi. TUJUAN TETAP TIDAK BERUBAH : MEMUDAHKAN KITA MEMBUAT URUTAN INSTRUKSI.

Jadi dinote tujuan membuat urutan instruksi tidak berubah. Hanya klo sebelumnya kita mesti nulis (diulang lagi untuk memudahkan perbandingan):
  • MoveX, 5
  • MoveY, 8
  • SumXY
  • Dan-seterusnya-seterusnya...
Sekarang cukup:
  • 5 + 8
Klo ditanya mengapa pakai bahasa tingkat tinggi? Ini jelas, karena daripada menulis puluhan, bahkan mungkin ratusan baris code, kita cukup menulis satu baris code. Jelas benefit yang luar biasa.

Kita agak jump sedikit. Klo pertanyaannya adalah : mengapa pakai OOP? Kemudian dijawab : misalnya ada class kucing yang diturunkan dari class mamalia, kemudian kalo dulunya kita mesti nulis “makan(kucing.parent)”, sekarang cukup “makan(mamalia)”. Kita hanya benefit ENAM karakter. Jelas meragukan. Padahal dengan OOP terbukti banyak program semakin canggih bisa ditulis karena menggunakan teknik OOP. Jadi bukan karena masalah syntax lagi. There must be something else. Ok lets go on.

1.3.4. Lahirnya Bahasa Prosedural

Dengan bahasa tingkat tinggi yang primitif seperti bahasa BASIC (yang duluuuuu banget), program mengandalkan instruksi semacam “goto” dan semuanya adalah global variable. Ini memusingkan, paling sedikit karena dua alasan utama:
  • Banyak kumpulan dari code yang bisa digunakan di banyak tempat, susah digunakan.
  • Semua variable adalah global variable.
Berikut adalah contoh yang menunjukkan masalah di atas. Misalnya kita mempunyai fungsi untuk menghitung faktorial sebagai berikut ( moga2 algoritmanya bener ):

HitungFaktorial: //Parameter X = jumlah suku dari faktorial.
//Parameter R = kemana kita harus return.
//Return F = hasil dari faktorial.
F = 1;
For L = 1 To X
F = F * L;
Next L;
If R = “LanjutCalc” Goto LanjutCalc //Return ke pemanggil.
If R = “LanjutDisplay” Goto LanjutDisplay //Return ke pemanggil.
If R = “LanjutDadu” Goto LanjutDadu //Return ke pemanggil.
ExitMessage = “BUG : parameter kembali kemana tidak disebutkan.”
Goto Exit

Jadi si pemanggil untuk menggunakan ini, harus melakukan sbb:


<do something>
X = 10; //Mau hitung nilai dari faktorial 10.
R = “LanjutCalc”; //Supaya kembali ke laptop.
Goto HitungFaktorial
LanjutCalc:

<lanjut dengan do something else>

Ini jelas bermasalah. Masalah2nya adalah:

  • (masalah ringan) Waktu mau return dari fungsi repot sekali.
  • (BERAT) Begitu program berhenti dan keluarkan message “BUG : parameter kembali kemana tidak disebutkan.”, kita tidak punya ide code yang mana menyebabkan ini. Ini mulai mencari kutu, dan ini masalah berat karena bisa menghabiskan waktu sangat banyak.
  • (BERAT) Bagaimana jika pemanggil kebetulan menggunakan variable “F”, bisa pusing mencari sebab kenapa program tidak jalan (yang ternyata disebabkan variable “F” digunakan di salah satu pemanggil fungsi HitungFaktorial).
  • (BERAT) Label-label seperti “LanjutCalc” yang bersifat global memungkinkan sebuah code yang ntah dimana bisa nyasar ke sini. Dan ini juga dijamin nyarinya bakal nyari kutu.
Oleh karena itu diciptakanlah yang disebut “fungsi beneran” yang sifatnya kalau mau balik ke pemanggil, cukup tulis “return”. Dan diciptakanlah local variable. Sehingga menjamin variable “L” maupun “F” di dalam fungsi HitungFaktorial TIDAK MEMPUNYAI EFEK TERHADAP SIAPAPUN.

Jika ditulis ulang codenya menjadi seperti ini:

HitungFaktorial(Lokal X) //Parameter X = jumlah suku dari faktorial.
Local F = 1;
For Local L = 1 To X
F = F * L;
Next L;
Return F;


Mari kita analisis apa manfaat terbesarnya:
  • Syntax lebih sedikit, jelas benefit. Akan tetapi benefitnya kecil karena ini hanya menghemat ketikan. Apalagi klo si programmer adalah typist ulung (please yang belum bisa ngetik, belajar ngetik, ini jelas membantu banget). Total penghematan mungkin hanya beberapa menit per-panggilan. BETUL-BETUL HANYA SEMENIT-DUA MENIT. Yaitu klo tadinya setiap kita mau panggil fungsi HitungFaktorial, kita selalu harus tambahin sebuah baris code untuk return (misalnya : “If R = “MyFunction” Goto MyFunction”), sekarang sudah tidak perlu lagi.
  • Penghematan waktu karena sekarang sudah tidak bakal lagi ada kejadian si fungsi gagal untuk return SUDAH TIDAK ADA LAGI. Ini hematnya bisa berjam-jam, bisa berhari-hari. Karena coba dibayangkan klo pemanggil fungsi HitungFaktorial ada 100, pas ada error tersebut, mesti abis berapa jam? Berapa hari? Ini jauh dibandingkan penghematan beberapa menit karena alasan syntax di nomor satu.
  • Penghematan waktu karena sudah tidak ada lagi code yang kebetulan salah satu variable-nya dipakai oleh fungsi HitungFaktorial tersebut. Dengan alasan yang sama dengan nomor 2, ini hematnya bisa jam-jaman, bahkan hari-harian.
  • Penghematan waktu karena sudah tidak ada lagi code yang ntah dimana nyasar ke sebuah label yang ntah dimana juga. Dengan alasan yang sama dengan nomor 2, ini hematnya bisa jam-jaman, bahkan hari-harian.
Nah kalo cara pandang yang digunakan adalah menarik kesimpulan dengan cepat (tetapi salah), yang menjadi salah kaprah pada umumnya, keliatan serupa, TAPI TIDAK SAMA, yaitu:
  • Goto JELEK! Pokoke program sing ana “goto” JELEK.
  • Global variable JELEK! Pokoke program sing ana “global variable” JELEK.
Klo contohnya seperti di atas, “kebetulan” pandangan seperti ini ok-ok saja. Tapi sayangnya dunia programming membutuhkan seribu satu macam code selain daripada contoh di atas.

1.1.1.1. “Goto” Jelek?

Bagaimana kita solving problem error handling seperti ini. Ada sebuah fungsi yang mempunyai empat parameter, dan setiap parameter harus kita cek valid atau tidak, kalau tidak valid, harus mengembalikan sebuah error yang mengindikasikan parameter mana yang tidak valid. Kalau tanpa “Goto”:

HitungSomething(Local A, Local B, Local C, Local D)
If A = valid then
If B = valid then
If C = valid then
If D = valid then
<Do something>
<Do something>
<Do something>
<Do something>
Return;
Else
Return “Error-D”;
Endif
Else
Return “Error-C”;
Endif
Else
Return “Error-B”;
Endif
Else
Return “Error-A”;
Endif


Kemudian si pemanggil HitungSomething juga mesti lakukan ini juga:

Local X = HitungSomething(1, 2, 3, 4);
If X = “Error-A” or X = “Error-B” or X = “Error-C” or X = “Error-D” then
Return X;
Else
X = HitungSomethingElse(1, 2, 3);
If X = “Error-A” or X = “Error-B” or X = “Error-C” then
Return X;
Else

<Do something>
<Do something> 
<Do something> 
<Do something> 
Endif
Endif


Coba kita coba dengan “Goto”:

HitungSomething(Local A, Local B, Local C, Local D)
If A <> valid then
E = “Error-A”;
Goto Error;
Endif
If B <> valid then
E = “Error-B”;
Goto Error;
Endif
If C <> valid then
E = “Error-C”;
Goto Error;
Endif
If D <> valid then
E = “Error-D”;
Goto Error;
Endif
<Do something>
<Do something> 
<Do something> 
<Do something> 

Dan code si pemanggil HitungSomething juga cukup juga menjadi:

HitungSomething(1, 2, 3, 4);
HitungSomethingElse(1, 2, 3);


Code menjadi lebih singkat. Dan yang terutama alur utama program lebih jelas terbaca.
Kalau kita berpikiran “Goto” jelek, tentu kita tidak akan pernah menggunakan “Goto”. Tetapi kalau kita mengerti dengan baik alasan kenapa “Goto” jelek, kita bisa menghindari penggunaan “Goto” yang jelek, dan menggunakannya di area dimana “Goto” berfungsi dengan lebih baik. Jadi yang bermasalah bukanlah “Goto”-nya, karena ini-kan hanya sekedar fitur, salah satu senjata dari gudang senjata kita, tergantung kita sendiri bagaimana memanfaatkannya.

Dan oleh karena itu, kalau diperhatikan, sebenarnya fitur-fitur seperti Try-Catch-Finally, bisa return dari mana saja, exit di tengah-tengah loop, suddenly balik ke awal loop, adalah salah satu bentuk “Goto”. Saya menyebutnya sebagai “Goto”-TERARAH. Terarah karena potensi penggunaan “Goto” yang buruk dicegah.

Bahkan di dunia bahasa OO masa kinipun, “Goto” murni masih bisa berguna. Kalau suatu hari Anda menemukan code yang terlalu banyak indentasi ke kanan, mau diapapun juga, tetap indentasi ke kanan juga, coba think solusi menggunakan “Goto”.

1.1.1.2. “Global Variable” Jelek?

Coba bayangkan kalau kita mempunyai aplikasi yang mempunyai katakanlah 10 variable yang sifatnya system-wide. Misalnya : koordinat kiri atas dari window aplikasi, lebar, tinggi, warna button, warna textbox yang error, warna textbox yang mandatory, dan-lain-lain. Bayangkan kalau kita hanya berpikiran global variable jelek. Kita akan menghindari penggunaan global variable. Dan sebagai gantinya, setiap kali kita mau memanggil fungsi yang membutuhkan variable-variable tersebut, kita harus selalu mempassing ke-10 variable tersebut sebagai parameter. Bagaimana jika variable yang system-wide tersebut bertambah menjadi 20. Haruskan kita mengedit setiap fungsi satu-satu? Bukankah ini membuah code menjadi semakin ruwet? Dan tujuan kita menggunakan bahasa prosedural-kan supaya kita bisa menulis instruksi dengan lebih efisien dan hemat tenaga. Bukankah dengan menghindari global variable seperti ini malah semakin membuang energi dan waktu kita?

Global variable yang jelek adalah karena yang menggunakannya tidak mengerti cara menggunakannya. Global variable sendiri hanyalah fitur, bermanfaat atau malah merusak, tergantung dari yang menggunakannya.

1.1.1.3. Sedikit Kesimpulan sebelum Membahas OOP

Dengan semakin canggihnya bahasa OO, mungkin contoh-contoh di atas terlihat primitif sekali. Poinnya bukan di situ. Justru sengaja dengan pembahasan bahasa prosedural dibandingkan bahasa non-prosedural, yang lebih simple, diharapkan bisa lebih terlihat bahwa “mengapa” sebuah fitur bahasa diciptakan. Dengan mengerti “mengapa”-nya ini, dan bukan keyakinan close-minded seperti “ini dilarang”, “itu jelek”, “itu menyalahi aturan prosedural”, menjamin kita bisa berkreasi dengan lebih baik dan tidak terjebak dengan keyakinan-keyakinan tidak berdasar yang malah membuat code menjadi lebih rumit.
Jika contoh yang sederhana seperti di atas bisa dipahami, barulah kita siap membahas OOP yang lebih kompleks. Akan tetapi konsepnya tetap sama : memudahkan kita menghasilkan urutan instruksi.

1.2. Lahirnya OOP dan Bahasa OO

 OOP dan bahasa OO kaya dengan berbagai macam fitur yang sangat baik untuk programming. Membahas itu semua di luar dari konteks artikel ini. Jadi kita akan membahas satu saja yang paling popular yaitu fitur : class dan inheritance-nya. Kita akan bahas dari “mengapa”-nya. Diharapkan dengan demikian, selanjutnya tentu kita bisa menarik kesimpulan sendiri apa gunanya dari fitur-fitur yang lain.

Untuk memahami contoh berikut, sebaiknya dibuang dulu pemikiran mistik, bahwa kita harus mengganti pola pikir flow / step-by-step menjadi pola pikir class dan inherintance. Jangan percaya omong kosong ini. Mengapa? Tujuan kita tidak berubah dari jamannya Von Newman 100 tahun lalu, yaitu : membuat instruksi step-by-step untuk komputer. Jadi yang betul adalah kita harus tetap berangkat dari pola pikir flow / step-by-step ini, kemudian kita lihat dimana class bisa membantu kita menulis instruksi dengan lebih efisien. Baru setelah itu lama-lama kita akan terbiasa sehingga class menjadi daya reflex kita. Seperti halnya membuat fungsi, menulis variable, looping, array, dan seribu satu macam trick-trick programming menjadi daya reflex kita. TETAPI BUKAN LONCAT, UBAH POLA PIKIR MENJADI CLASS. Dengan cara begitu, sampai matipun saya yakin tidak akan pernah memahami ensensi dari class. Ini seperti halnya mengatakan : ubah pola pikirmu menjadi ikan, terus diterjunin ke laut.

1.2.1. Diciptakanlah Class

 Somehow class itu lahir dari pemikiran bahwa global variable itu perlu. Ironisnya di dunia OOP, fitur global variable malah semakin dipandang sebagai dosa yang lebih berdosa lagi

Dari contoh di atas, kita lihat bahwa global variable tetap perlu untuk variable yang sifatnya system-wide. Akan tetapi bagaimana kalau kita membutuhkan variable yang sifatnya tidak terlalu global sampai dengan system wide, tapi juga bukan local variable yang dibutuhkan hanya oleh satu fungsi, melainkan variable-variable ini dibutuhkan oleh sekumpulan fungsi. UNTUK MEMENUHI KEINGINAN INI, DICIPTAKANLAH CLASS.

<Eiiitt, nanti dulu, inikan modul, bukan class? Sabar mas, kita pake konsep OOP terkini aja dimana modul dianggap sebagai class yang instance-nya cuman satu. Abis itu baru kita masuk ke class yang lebih umum.>

Misalnya klo di aplikasi kita mempunyai sebuah window dimana hasil dari setiap output kita harus ditampilkan di dalam window tersebut.

1.2.1.1. Si Local Ternyata Adalah Global Berbulu Domba

 Tanpa class, kita hanya punya dua pilihan, menggunakan local variable atau menggunakan global variable.

Klo semua variable dijadikan local variable, maka misalnya window tersebut mempunyai atribut xLoc, yLoc, Panjang, Lebar. Setiap kali kita mau menulis “Hello World!”, syntaxnya menjadi kira-kira : print(xLoc, yLoc, Panjang, Lebar, “Hello World!”).

Kerepotan pertama sudah dijelaskan di atas, bagaimana klo si window tersebut mempunyai property baru, berarti semua fungsi di aplikasi kita yang memanggil window tersebut harus diubah.
Dan ada satu lagi yang bahaya yaitu : perhatikan bahwa variable xLoc dan kawan-kawannya harus dimaintain oleh pemanggil, pemanggilnya pemanggil, pemanggilnya pemanggilnya pemanggil, dan seterusnya. Sepertinya bukan global variable, tapi efeknya sama seperti global variable. Misalnya di salah satu pemanggil-pemanggil tersebut salah menimpa value salah satu dari xLoc dkk. Efeknya akan terasa oleh yang dipanggil oleh si salah, yang dipanggil oleh yang dipanggil oleh si salah, dan seterusnya. Bukankah ini efek yang mirip dengan variable global, dan dengan bonus : repot ngetik, repot copy-paste klo atributnya bertambah. Inilah Global berbulu Domba (Local).

1.2.1.2. Solusi : Class

Jadi solusi yang tinggal adalah menggunakan global variable. Kalau window tersebut adalah satu-satunya code dari aplikasi kita yang memerlukan variable global, fine, tetapi bagaimana jika kita juga punya mouse. Berarti atribut dari mouse harus dibuat global juga. Nah ini mulai bahaya, karena code si window bisa salah mengakses variable globalnya si mouse, dan sebaliknya. Ini bahaya karena mencari kesalahan seperti ini, bisa seperti mencari kutu, bisa berjam-jam, dan berhari-hari.

Dengan diciptakan class. Masalah ini solve. Window kita jadikan class yang artinya semua variable window tetap global tetapi hanya untuk semua fungsi yang berada di class window tersebut. Dan semua variable mouse tetap global, tetapi hanya untuk semua fungsi yang berada di class mouse tersebut.

Perhatikan pola pikirnya adalah bukan berangkat dari class. Tetapi dari masalah coding kita. Jadi kita mengerti “mengapa” kita memakai class, dan tentu saja akan mengerti “mengapa” kita tidak harus selalu pakai class.

1.2.2. Diciptakanlah Object

 Kalau window hanya satu, dengan class yang hanya mempunyai fitur untuk membuat variable 1/2 global dan 1/2 local, problem solved. Tetapi gimana kalau aplikasi kita mempunyai lebih dari satu window. Apakah kita harus copy-paste class window kita dan diganti nama jadi class window_juga, yang hanya beda nama class, isinya totally sama persis. Bagaimana klo ternyata class window ada bug? Harus kita betulkan, kemudian kita copy-paste ke semua class window_juga, window_juga_lho, window_lage_lage, window_asli, dan klo ada 100 window gimana? Apa gak gompyor?

Oleh karena itulah diciptakan fitur object. Jadi daripada copy-paste, kita cukup bikin satu class window. Kemudian class window ini istilahnya harus di-instantiate sebelum digunakan. Untuk instantiate kita cukup gunakan syntax “window wnd = new window()”. Selanjutnya kita mengakses fungsi print di window dengan syntax “wnd.print(“Hello World!”). Klo butuh satu window lagi kita tinggal pake syntax “window wnd_juga = new window()”. Dan seterusnya. Sehingga klo class window ada bug, cukup dibetulkan, tanpa perlu copy-paste, semuanya 100 window, bahkan klo ada ribuan window, juga langsung beres.

Inilah object.

Lagi, perhatikan pola pikir yang berangkat dari masalah coding, dan fitur object adalah solusinya. Bukan sebaliknya.

1.2.3. Diciptakanlah Implementation Inheritance

 Ada banyak macam inherintance : untuk artikel ini kita bahas yang implementation inheritance saja.
Kalau window kita mau bisa ditampilkan di graphic card Asus dan graphic card NVIDIA, apakah kita harus membuat dua class window untuk masing-masing graphic card? Bisa saja, tetapi terlalu banyak code yang diduplikasi. Klo ada bug, apakah kita harus betulkan di satu class, kemudian copy-paste ke class yang lain? Dan copy-paste ini sedikit lebih rumit karena ada bagian-bagian code yang memang berbeda, yang tentu saja tidak boleh ke-paste.

Okay klo begitu akan baik klo code yang spesifik Asus dan spesifik NVIDIA dipisahkan. Dengan alasan yang seperti di atas, mau pakai 1/2 global dan 1/2 local, dibuatlah class Asus dan NVIDIA. Tapi eit nanti dulu, klo hanya seperti ini, tetap aja itu adalah dua class yang berbeda, yang akhirnya kita juga akan punya dua class window untuk masing-masing class Asus dan NVIDIA.

Dari sinilah diciptakan implementation inheritance. Kita buat class kosong graphic card. Kosong itu maksudnya kita cukup menyebutkan nama-nama fungsi. Nama-nama fungsi ini yang nanti di-refer / di-call oleh class window kita. Sehingga kita tetap punya satu class window. Jadi tidak perlu lagi copy-paste yang repot. Kemudian kita buat class Asus, yang istilahnya diturunkan dari class graphic card. Bahasanya “seram”, “baru”, “cool”, “modern”, tetapi artinya gampang sekali, kita mengisi isi dari fungsi-fungsi yang kosong tersebut. Jadi class window tetap satu saja. Punya satu class kosong untuk keperluan coding di class window. Kemudian dua class Asus dan NVIDIA yang memang dua graphic card yang berbeda sehingga wajar mempunya dua class (dua code = nambah kerjaan). Inilah yang dimaksud dengan callback-reusable. Code yang manggil hanya satu (window), code yang dipanggilnya yang bisa banyak (Asus dan NVIDIA).

Perhatikan pola pikirnya : dari problem coding, diberi solusi implementation inheritance, kemudian dijulikin “re-usable”. Dengan demikian baru kita bisa mengerti “mengapa” kita menggunakan inheritance. Dan “mengapa” kita tidak perlu inherintance. Jangan mau disuruh mikir seperti ikan terus diceburin ke laut.

1.3. Apakah OOP dan Prosedural Berbeda

 Jelas tidak. OOP melengkapi teknik programming prosedural, sebagai lanjutan dari penyempurnaan teknik programming, mulai dari jamannya Von Newman 100 tahun yang lalu. Tidak ada yang mistis mengenai itu. Semuanya berangkat dari pemikiran yang sederhana, yang saya yakin masih dalam batas-batas kemampuan manusia normal. Hanya memerlukan pola pikir yang tepat.

Dan itu hanya satu macam dari sekian ratus teknik programming yang ada. Perkara itu memang popular karena solving lebih banyak kasus dibandingkan teknik yang lain, ok saja. Tetapi jangan terjebak ke pola pikir “ooo, semuanya harus object”. Programming adalah dunia yang sangat kreatif. Hanya dengan open mind, kita bahkan mungkin menciptakan sebuah metodologi programming sebagai penyempurnaan dari OOP. Seperti halnya OOP menyempurnakan prosedural. Make the tool works for you. Do not work for tool.

Jangan pernah takut bertemu dengan what-so-called pakar object oriented, pakar design pattern, blah, blah. Tanyakan saja bagaimana bentuk code akhirnya, klo sama-sama saja, klo jawabnya ah-eh-ah-eh, forget it. Ingat tujuan kita adalah menulis instruksi dengan lebih efisien, yang klo perlu sambil tidur dah. Teori boleh segunung, tetapi klo code-nya sama saja, gimana bisa lebih efisien? Bahkan itu menunjukkan dia sama sekali tidak pernah memahami esensi yang paling basic dari “mengapa” kita coding. Boleh dipastikan itu adalah pakar omong-kosong.

Happy programming!





 *.:。✿ Don't forget to come back again ✿.。.:*






Visit Wahyudi Blog !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Plisss...
Jangan nyepam (spam), jangan promosi (apapun itu), jangan SARA, jangan OOT...

Mohon kerja samanya, berikan komentar yang berbobot dan bermanfaat bagi semua... ^^

Artikel Unggulan

Panduan Makan Sehat bagi Generasi Z: Tips Mudah untuk Menjaga Energi dan Kesehatan

Menjaga Kesehatan dan Energi saat Berlatih: Nutrisi Penting untuk Atlet Generasi Z Gaya hidup aktif dan olahraga merupakan hal yang sangat p...

Paling Populer dalam Sebulan