.:|[ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ]|:.
Salahuddin Ayyubi atau
Saladin atau
Salah ad-Din adalah seorang jendral
dan pejuang muslim Kurdi dari Tikrit (daerah utara Irak saat
ini). Ia mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir, Suriah, sebagian Yaman, Irak, Mekkah Hejaz
dan Diyar Bakr. Salahuddin terkenal di dunia Muslim
dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer,
dan sifatnya yang ksatria
dan pengampun p
ada saat ia berperang melawan tentara salib. Shalahuddin juga berhasil merevitalisasi perekonomian Mesir, ia mereorganisasi pasukan militer dengan nasihat ayahnya.
Saladin
adalah salah satu dari sedikit tokoh dari masa Perang Salib yang berhasil secara positif dijelaskan dalam kedua sumber Barat (eropa)
dan Timur (asia). Dengan posisi yang tinggi di antara lawan Barat, ia telah menjadi tokoh yang mempesona bagi penulis Barat (eropa).
Karena
itulah saya tertarik untuk membahas siapakah Salahuddin
dan bagaimana kepemimpinannya tersebut dalam makalah mata kuliah Studi Kepemimpinan dalam Islam
dan menulisnya di blog
ini supaya kita semua dapat memetik hikmah
dan mengambil pelajaran yang terkandung di dalamnya.
SULTAN SALAHUDDIN AL-AYYUBI, namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang memiliki jiwa patriotik
dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancur leburkan tentara salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.
Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat
itu telah tidur nyenyak
dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi Muhammad saw. Melalui media peringatan
itu dibeberkanlah sikap ksatria
dan kepahlawanan pantang menyerah yang d
itunjukkan melalui "Siratun Nabawiyah". Hingga k
ini peringatan
itu menjadi tradisi
dan membudaya di kalangan umat Islam.
Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik
dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar
itu. Rasa tanggung jawab terh
adap agama (Islam) telah ia baktikan
dan buktikan dalam mengh
adapi serbuan tentara ke tanah suci Palestina selama dua puluh tahun,
dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan
dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart dari Inggris.
Saat Perang Salib
Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib
adalah peperangan yang paling panjang
dan dahsyat penuh kekejaman
dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam.
Seorang penulis Barat berkata, "Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan
dan keputusasaan. Seluruh Eropa sering kehabisan manusia, daya
dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila bukan kehancuran total.
Berjuta-juta manusia yang tewas dalam me
dan perang, se
dangkan bahaya kelaparan, penyakit
dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan berkecamuk sebagai noda yang melekat p
ada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat
itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit
dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin".
"Setiap cara
dan jalan ditempuh", kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan
itu. Selagi seorang tentara Salib masih menyan
dang lambang Salib, mereka ber
ada di bawah lindungan gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak
dan juga untuk berbuat dosa.
Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang serbuan pertama dengan menghancurkan kota
itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya yang tak bersalah,
dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman yang tak terkendali. Gerombolan manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib
itu mengubah tanah Hongaria
dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus.
"Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan
dan kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar" demikian tulis pengarang Perancis Michaud.
Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah
dan paling dungu. Bercampur dengan kefanatikan
dan kedunguan mereka
itu, izin diberikan guna melakukan perampokan, perzinaan
dan bermabuk-mabukan. "Mereka melupakan Konstantin
dan Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan
dan perampokan, pengrusakan
dan pembunuhan yang merupakan peninggalan yang buruk dari mereka atas setiap daerah yang mereka lalui" kata Marbaid.
serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut keterangan penulis Mill "terdiri dari gerombolan yang nekat
dan ganas. Massa yang membabi buta
itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok
dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik pitam
dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya.
Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar daerah Syria
dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka
ini telah disusul dengan keganasan
dan pembunuhan terh
adap kaum Muslimin yang tak bersalah yang melebihi kekejaman Jengis Khan
dan Hulagu Khan.
John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal penduduk Muslim
ini p
ada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: "Keluruhan usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak
dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik
itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung
dan pan
dangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin,
dan membakar habis perbendaharaan kesenian
dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga, termasuk "Kutub Khanah" (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur
itu. Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan
itu kehabisan tenaga," kata Stuart Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi yang tua
dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.
Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya
dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke me
dan pertempuran untuk turut merebut tanah suci Ba
itul Maqdis, gabungan tentara Salib
ini disambut oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang untuk maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau serbuan tentara Salib
itu, akan tetapi yang dih
adapi mereka sekarang ialah seorang yang berkemauan baja serta keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima tantangan dari Nasrani Eropa.
Siapakah Shalahuddin...?
Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah Ad-Din bin Ayyub atau Saladin (menurut lafal orang Barat)
adalah salah satu pahlawan besar dalam tharikh (sejarah) Islam. Satu konsep
dan budaya dari pahlawan perang
ini adalah perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud atau maulid, berasal dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti p
ada istilah ulang tahun. Berbagai perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi muslim sering disebut sebagai milad atau miladiyah, meskipun maksudnya
adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender Masehi.
Shalahuddin dilahirkan p
ada tahun 1137 Masehi. Shalahuddin terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, ya
itu Nur Ad-Din atau Nuruddin Zangi. Pendidikan pertama diterimanya dari ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi.
Selain belajar Islam, Shalahuddin pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaduddin Sherkoh (Asaddin Shirkuh), seorang panglima perang Turki Seljuk. Bersama dengan pamannya Shalahuddin menguasai Mesir,
dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimid (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW). Di samping
itu pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin. Kedua-duanya
adalah pembantu dekat Raja Syria Nuruddin Mahmud.
Bagaimana latar belakang kehidupannya...?
Asaduddin Sherkoh (paman dari Shalahuddin), seorang jenderal yang gagah berani,
adalah koman
dan Angkatan Perang Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk mengh
adapi perlawanan Shawer seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis. Serbuan Sherkoh yang gagah berani
itu serta kemenangan akhir yang direbutnya dari Babain atas gabungan tentara Perancis
dan Mesir
itu menurut Michaud "memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai ringgi."
Ibnu Aziz AI Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh
ini sebagai berikut: "Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir
dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".
P
ada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo
dan diangkat oleh Khalifah Fathimiyah sebagai Menteri
dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah pengangkatannya
itu, dia berpulang ke rahmatullah.
Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Per
dana Menteri Mesir. Tak seberapa lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah
dan adil bijaksana
itu. P
ada saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin telah menjadi penguasa yang sesungguhnya di Mesir. Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur
itu meninggal dunia p
ada tahun 1174 Masehi
dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda
ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin.
Shalahuddin mengirimkan utusan kep
ada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya
dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja
itu dalam khotbah-khotbah Jumatnya
dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian
ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda
itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi
itu. Suasana yang meliputi kerajaan
ini sekali lagi memberi angin kep
ada tentara Salib, yang selama
ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud
dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Sherkoh.
Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan
itu,
dan hanya bersedia untuk meninggalkan kota
itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa
itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil
dan merebut kembali kota
itu.
Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh.
dan mengajukan tuntutan kep
ada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia p
ada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Di
adakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin
dan tentara Perancis di Palestina, tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, se
dangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan." Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya
dan merampas harta ben
danya.
Lantaran peristiwa
itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat
itu di dekat bukit Hittin p
ada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak memberikan kesempatan lagi kep
ada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali
dan melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani, termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa
dan Beirut. Demikian juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia
itu.
Sekarang Shalahuddin mengh
adapkan perhatian sepenuhnya terh
adap kota Jerusalem yang diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara salib
ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan
dan menyerah p
ada tahun 1193. Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani
itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit
dan bumi, dengan perlakuan
dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, p
ada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib p
ada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya
dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam yang menderita kekalahan
itu.
Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi,
ada yang lari masuk istana, menara-menara,
dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat bertahan untuk waktu yang singkat. mengulangi lagi tindakan-tindakan yang penuh kekejaman. Pasukan infanteri
dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum penyerbu
itu yang terdengar hanyalah erangan
dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa
itu berjalan menginjak-injak tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan diri. Raymond d' Angiles yang menyaksikan peristiwa
itu mengatakan bahwa di serambi masjid mengalir darah sampai setinggi lutut,
dan sampai ke tali tukang kuda prajurit.
Penyembelihan manusia bi
adab
ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi setelah berib
adah
itu, mereka melanjutkan kebi
adaban dengan keganasan. Semua tawanan kata Michaud, yang tertolong nasibnya karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong karena mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara
dan rumah kediaman; mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah; mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas timbunan mayat.
Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu angkara tentara yang menang
itu. Penyembelihan kejam
itu berlangsung selama seminggu.
Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang hina.
Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: Telah diputuskan, bahwa kaum Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena
itu harus diseret ke tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket p
ada buah d
adanya, anak-anak laki-laki
dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-Iapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki
dan perempuan,
dan anggota tubuh anak-anak. Ti
ada hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan.
Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.
Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem p
ada tahun 1193 M, dia memberi pengampunan umum kep
ada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota
itu. Hanya para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan yang ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang tebusan
itu dari kantongnya sendiri
dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan. Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin meninggalkan negeri
ini untuk selama-lamanya. Para prajurit
itu adalah tumpuan hidup kami. Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan mereka kep
ada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami
dan kami akan mempunyai sandaran hidup.
Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka
itu dan dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani
itu. Mereka yang berangkat meninggalkan kota, diperkenankan membawa seluruh harta ben
danya. Sikap
dan tindakan Sultan Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia
ini memperlihatkan suasana kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem dalam tangan tentara Salib satu abad sebelumnya. Para koman
dan pasukan tentara Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kep
ada tentara Salib yang telah dikalahkan
itu.
Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem
itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota yang dikuasai kaum Nasrani. Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem, kata Mill, pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan perlindungan kep
ada mcreka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka menuju ke tanah kaum Muslimin
dan diterima di sana dengan baik. Michaud memberikan keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan
ini terh
adap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi
ini, kata Michaud. Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan pertolongan kep
adanya, kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terh
adap kaum Nasrani yang ditaklukkan
itu. Sebagai pertimbangan terh
adap perasaan mereka, dia tidak memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.
Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara Salib yang tidak tahu berterima kasih terh
adap Sultan Shalahuddin yang telah mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai, termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas,
dan Debersak. Sultan telah melepas hulu balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera pulang ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih
ini mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya
dan mengumpulkan suatu pasukan yang cukup besar
dan mengepung kota Ptolemais.
Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok Eropa. Kaisar Jerman
dan Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat dengan pasukan yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang cukup besar.
Sekarang yang harus dih
adapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari Eropa. Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya,
dan sungguh pun kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib
ini jumlah semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya mengh
adapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa menyerah kep
ada musuh dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan
dan bahwa mereka diharuskan membayar uang tebusan sejumlah 200.000 emas kep
ada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam suatu penyelesaian uang tebusan
ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum Muslimin yang tak berdaya
itu dengan
dan hati yang dingin di h
adapan pan
dangan mata saudara sesama kaum Muslimin.
Perilaku Raja Inggris
ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah
itu. Dalam pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin memberikan pukulan-pukulan yang berat terh
adap tentara Salib.
Akhirnya Raja Inggris yang berhati singa
itu mengajukan permintaan damai yang diterima oleh Sultan. Raja
itu merasakan bahwa yang dih
adapinya
adalah seorang yang berkemauan baja
dan tenaga yang tak terbatas serta meny
adari betapa sia-sianya melanjutkan perjuangan terh
adap orang yang demikian
itu. Dalam bulan September 1192 Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib
itu meninggalkan tanah suci dengan ransel dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.
"Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib
itu" tulis Michaud "di mana gabungan pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih darip
ada kejatuhan kota Akkra
dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran
itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan Salib mendarat di depan kota Akkra
dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima hasil perjuangan tentara Salib
itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir
adalah tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam pertempuran
ini.
Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan-perguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya.
Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah p
ada tanggal 4 Maret tahun 1193. "Hari
itu merupakan hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam
dan kaum Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin" demikian tulis seorang penulis Islam. Kalangan Istana seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan penuh kesedihan
dan tangisan.
Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam perikemanusiaannya
dan tak
ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang Muslim yang penuh kasih sayang terh
adap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis dengan keperkasaan seorang genius dalam me
dan pertempuran. Utusan yang menyampaikan berita kematiannnya
itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, ku
danya, uang sebanyak satu dinar
dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih ketinggalan. Orang yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa Sultan Shalahuddin
adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang sahabat yang baik dari kaum cendekiawan
dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan rasa hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. "Di Eropa" tulis Philip K Hitti, dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman sekarang,
dan masih tetap d
inilai sebagai suri tel
adan kaum kesatria.
Semoga Allah melapangkan kuburnya.
Yang Menarik Dari Shalahuddin
Tak banyak pemimpin muslim memiliki penghargaan seperti
ini di dunia barat.
Bila bicara tentang crusade, sepertinya
ini adalah perang besar yang paling ber
adab. Dimana pemimpin yg berseteru tidak saling membenci, bahkan antara Richard The Lion Heart saling menolong dengan Saladin. Sungguh perang yang aneh. Richard The Lion Heart menghentikan peperangan ketika pe
dang saladin tumpul,
dan memerinya kesempatan untuk mengasah. Ketika Richard The Lion Heart jatuh dari kuda, Saladin mengirimkan kuda untuk Richard The Lion Heart. Bahkan mereka berdua sesekali makan malam bersama.
Bukan hanya pemimpin, para tentara yg ikut berperang pun beretika. Sebagai perang suci, pihak kristen-pun tidak mengizinkan
adanya wanita dalam pasukannya, wanita yang
ada hanya tukang cuci,
dan itupun dijaga ketat. Beg
itu pula pasukan muslim, yang menghentikan peperangan bila waktu sholat tiba.
P
ada tahun 1192 Shalahuddin
dan Richard sepakat dalam perjanjian Ramla, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim
dan terbuka kep
ada para peziarah Kristen. Setahun berikutnya Shalahuddin meninggal dunia di Damaskus setelah Richard kembali ke Inggris. Bahkan ketika rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, hartanya banyak dibagikan kep
ada mereka yang membutuhkannya.
Selain dikagumi Muslim, Shalahuddin atau Saladin mendapat reputasi besar di kaum Kristen Eropa, kisah perang
dan kepemimpinannya banyak d
itulis dalam karya puisi
dan sastra Eropa, salah satunya
adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott.
"Anakku," konon beg
itulah pesan Sultan
itu kep
ada anaknya, az-Zahir, menjelang wafat, "...Jangan tumpahkan darah... sebab darah yang terpercik tak akan tertidur."
Dalam hidupnya yang cuma 55 tahun, ikhtiar
itulah yang tampaknya dilakukan Shalahuddin. Meskipun tak selamanya ia tanpa cacat, meskipun ia tak jarang memerintahkan pembunuhan, kita tahu, bagaimana pemimpin pasukan Islam
itu bersikap baik kep
ada Raja Richard Berhati Singa yang datang dari Inggris untuk mengalahkannya.
Kesimpulan
Shalahuddin
adalah seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang sebenarnya tak ingin menumpahkan darah. Saladin merebut Jerusalem kembali di musim panas 1187. Tapi menjelang serbuan, ia beri kesempatan penguasa Kristen kota
itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan pasukannya dengan terhormat.
Dan ketika pasukan Kristen
itu akhirnya kalah juga, yang dilakukan Saladin bukanlah menjadikan penduduk Nasrani budak-budak. Saladin malah membebaskan sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun 1099, ketika pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Jerusalem, 70 ribu orang muslim kota
itu dibantai
dan sisa-sisa orang Yahudi digiring untuk dibakar.
Ketika Richard sakit pun dalam pertempuran, Shalahuddin mengiriminya buah pir yang segar dingin dalam salju,
dan juga seorang dokter. Lalu perdamaian pun ditandatangani, 1 September 1192,
dan pesta di
adakan dengan perbagai pertandingan,
dan orang Eropa takjub bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik
itu.
Sebenarnya sifat sifat seperti Sultan Shalahuddin
itulah yang diperlukan oleh para pemimpin dunia p
ada umumnya
dan pemimpin Indonesia p
ada khususnya dimana seorang pemimpin haruslah bersikap adil kep
ada siapapun sekalipun
itu adalah musuh. Seorang pemimpin haruslah memiliki sifat pemaaf walaupun dirinya merasa terdzalimi. Seorang pemimpin yang suka menolong kep
ada siapapun yang membutuhkan pertolongan.
Dengan pemimpin yang seperti Shalahuddin, maka dunia
ini pun akan terasa sangat indah, damai
dan tentram.
Biografi dari Shalahuddin
|
1138
|
Born in Tikrit in Iraq as son of the Kurdish chief Ayyub.
|
1152
|
Starts to work in the service of the Syrian ruler, Nureddin.
|
1164
|
He starts to show his military and strategical qualities under 3 campaigns against the Crusaders who were established in Palestine, with the first campaign this year.
|
1169
|
Saladin serves as second to the commander in chief of the Syrian army, his uncle Shirkuh. Shirkuh became vizier of Egypt, but died after only 2 months. Saladin then took over as vizier. Despite the nominal limitations to the vizier position, Saladin took little regard to the interests of his superiors, the Fatimid rulers. He turned Cairo into an Ayyubid power base, where he used Kurds in leading positions.
|
1171
|
Saladin suppresses the Fatimid rulers of Egypt in 1171, whereupon he unites Egypt with the Abbasid Caliphate. But was not as eager as Nureddin to go to war against the Crusaders, and relations between him and Nureddin became very difficult.
|
1174
|
Nureddin dies, and Saladin uses the opportunity to extend his power base.
— Conquers Damascus.
|
1175
|
The Syrian Assassin leader Rashideddin's men made two attempts on the life of Saladin, the leader of the Ayyubids. The second time, the Assassin came so close that wounds were inflicted upon Saladin.
|
1176
|
Saladin besieges the fortress of Masyaf, the stronghold of Rashideddin. After some weeks, Saladin suddenly withdraws, and leaves the Assassins in peace for the rest of his life. It is believed that he was exposed to a threat of having his entire family murdered.
|
1183
|
Conquers the important north-Syrian city of Aleppo.
|
1186
|
Conquers Mosul in northern Iraq.
|
1187
|
With his new strength he attacks the Latin Kingdom of Jerusalem, and after 3 months of fighting he gets control over the city.
|
1189
|
A third Crusade manages to enlarge the coastal area of Palestine, while Jerusalem remains under Saladin's control.
|
1192
|
With The Peace of Ramla armistice agreement with King Richard 1 of England, the whole coast was defined as Christian land, while the city of Jerusalem remained under Muslim control.
|
1193 March 4
|
Dies in Damascus after a short illness.
|
*.:。✿ Don't forget to come back again ✿.。.:*
Visit Wahyudi Blog !
sumber:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Salahuddin_Ayyubi
- http://sukasejarah.org/index.php?topic=76.0
- http://www.hudzaifah.org/Article228.phtml
- http://i-cias.com/e.o/saladin.htm
- http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/02/biografi-salahudin-al-ayubi-1138-1193-m.html
Lengkap banget sejarahnya, gua memang selalu tertarik baca cerita soal Perang Salib. Thanks for sharing.
BalasHapus